Penggunaan Obat yang Rasional

Masyarakat Indonesia dikepung ribuan merek obat. Anda boleh percaya atau tidak, lebih dari 40 persen obat jadi yang beredar di Indonesia tidak rasional. Selain justru bisa membahayakan kesehatan, juga merupakan pemborosan.
Tak kurang dari Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Farmakologi Indonesia dan Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Prof dr Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD menyatakan keprihatinan ini dalam wawancara di Jakarta 11 Mei lalu.
Pada dekade 1980-an, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan (POM Depkes) RI waktu itu, Prof Midian Sirait, menarik 285 merek obat dan obat kombinasi dari peredaran karena dinilai tidak rasional dan ada bukti dari sejumlah negara mengenai aspek keamanan dan khasiatnya.
Menurut Iwan, sekarang ada lebih dari 14.800 merek obat jadi di Indonesia dan sekitar 6.000 di antaranya diperkirakan tidak rasional. Obat-obat itu masuk dan diterima Direktorat Jenderal POM Depkes ketika belum ada sistem evaluasi obat yang baik. Contohnya obat tetes mata, obat mag dan tukak lambung, obat flu, serta obat batuk campuran.
Obat batuk campuran, misalnya, mencampurkan antitusif untuk menekan batuk yang terus-menerus dan ekspektoran diindikasikan untuk batuk berlendir. Hal ini tidak logis. Obat tetes mata juga tidak rasional karena mencampurkan obat steroid dan antibiotik.
Yang lebih tidak masuk akal lagi adalah obat mag yang mencampurkan berbagai jenis obat yang sebagian bertentangan indikasinya, seperti aluminium hidroksida, magnesium hidroksida, skopolamin, semitikon dan dimetikon (untuk menetralkan asam lambung), kafein yang menyegarkan, hingga penenang seperti codein.
Tentang obat-obat penghilang nyeri campuran dengan steroid yang banyak menimbulkan efek samping, seperti gagal ginjal dan moonface, Iwan menegaskan bahwa obat-obat analgetik seharusnya tidak boleh dikombinasikan dengan steroid. Nyatanya, di apotek-apotek daerah tersedia obat kombinasi NSAID, misalnya fenilbutason dengan steroid seperti prednison, dan vitamin. Ini sama sekali tidak rasional dan dapat membahayakan pasien.
Mitos "obat paten"
Sejak tahun 1980-an Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengampanyekan perlunya setiap negara memiliki Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) agar tak perlu jumlah merek obat begitu banyak yang sebagian tidak rasional. Prof Iwan, yang juga anggota Komite Nasional DOEN menyatakan bahwa hampir 70 persen produk industri farmasi di seluruh dunia termasuk dalam kategori non-esensial dan duplikatif. Di Indonesia tak terkecuali.
Tentang mahalnya harga obat "jiplakan" yang tidak rasional, berlipat kali daripada harga obat generik padahal sebenarnya masa paten obat originator-nya sudah lewat, Iwan menjelaskan bahwa tingginya harga obat, khususnya untuk obat merek dagang, bukan merupakan isu yang begitu saja muncul di permukaan.
Obat telah menjadi komoditas ekonomi yang penetapan harganya diserahkan pada mekanisme pasar. "Pada situasi ini, obat telah kehilangan rohnya sebagai bagian dari hak individu untuk dapat sembuh dari penyakit atau memperpanjang usia karena kemampuan ekonomi seseorang menjadi kendala untuk mencapai tujuan tersebut," katanya.
Ditambahkan, berbedanya harga obat antarnegara dan antarpelayanan kesehatan di satu negara menunjukkan bahwa harga obat tidak sepenuhnya didasarkan pada harga pabrik semata, tetapi juga kompetisi tidak sehat yang terjadi di pasar.
Obat yang oleh suatu industri farmasi semula ditetapkan dengan harga yang jauh lebih murah dari kompetitornya akhirnya harus menyesuaikan (menaikkan harga) dengan hargar yang ditetapkan oleh industri farmasi yang telah terlebih dahulu memiliki brand image.
Sebagai contoh di Indonesia, harga siprofloksasin merek dagang (branded generic) yang patennya sudah habis tahun 2003 bervariasi mulai Rp 1.200 hingga lebih dari Rp 29.000, padahal siprofloksasin generik hanya Rp 345.
Bayangkan, harga obat generik bermerek ada yang hampir seratus kali lebih mahal dibandingkan obat generik biasa, padahal isi dan khasiatnya sama. Dan sebenarnya obat generik bermerek hanyalah ' jiplakan" obat originator yang dibuat dengan riset mahal.
Celakanya, masyarakat awam dan sebagian dokter justru sudah telanjur salah kaprah menganggap obat generik bermerek sebagai "obat paten". Padahal, mahalnya harga obat generik bermerek sama sekah tidak rasional. Absurd.
Di tengah belantara ribuan merek obat, mulai dari yang generik dan esensial hingga obat-obat merek dagang baik yang originator maupun obat generik bermerek, konsumen harus cerdas.
"Konsumen yang cerdas kalau perlu tak meminum obat walaupun diresepkan oleh dokter. Kalau diberi antibiotik, harus tanya ke dokter untuk apa. Tidak semua ke1uhan sakit seperti flu atau radang tenggorokan (faringitis) membutuhkan antibiotik. Kalau memang ada infeksi bakteri, bukan infeksi virus, dan harus diberi antibiotik, harus diminum sampai habis," ujar Prof Iwan.
Khusus untuk puyer yang biasanya diresepkan untuk bayi dan anak-anak, ia menyarankan sebaiknya orangtua menanyakan apa saja komponen obat di dalamnya. Jika ada antibiotik, mintalah untuk dikeluarkan dari racikan. Tentang polifarmasi, peresepan berbagai jenis obat sekaligus disarankan untuk diwaspadai dan tak bisa dianggap sepele.
"Tidak mustahil ada interaksi antarjenis obat yang justru akan merugikan pasien. Sebagai contoh, ada orang yang kemampuan untuk memetabolisme obat amat cepat, tapi ada juga orang yang kemampuan metabolismenya amat lambat. Kedua kelompok tersebut tidak begitu saja bisa diberikan obat dengan dosis yang sama. Pada kelompok metabolisme lambat, dosis beberapa jenis obat harus diturunkan karena dapat menimbulkan efek toksik. Di era personalized medicine, pemberian obat harus sangat mempertimbangkan faktor-faktor biologis individu agar obat yang diberikan tidak mencelakakan pasien" kata Prof Iwan.


Sumber:http://health.kompas.com/read/2011/05/31/10591398/Penggunaan.Obat.yang.Rasional
KOTAK KOMENTAR
Baca Juga
Sebarkan ini ke: Twitter Google+

0 comments :

Post a Comment